Sudah lama sekali, huh?
Maaf... Banyak sekali hal yang ingin aku ceritakan sebenarnya, banyak-sekali. Tapi entah kenapa susah untuk dituliskan dalam bentuk kata-kata. Mungkin akan aku tulis di post selanjutnya? aku tidak berani janji.
Bulan 6 sudah habis dan sekarang sudah bulan 7. 6... angka kesukaanku dan aku hampir selalu bahagia jika ada angka 6 terselip dalam hidupku, seperti bulan 6.. aku hampir selalu bahagia di bulan itu dari awal hingga akhir, benar-benar akhir.
Tapi disini bukan itu yang akan aku bicarakan, seperti yang kukatakan tadi; akan ku tulis di post selanjutnya(note:tidak janji).
"Real world starts from 6 pm"
Kenapa aku membuat judul itu? Karena aku ingin menceritakan hal-hal yang kulihat ketika matahari mulai tenggelam di ufuk barat sana yang sebenarnya membuat perasaanku bercampur aduk.
Beberapa hari yang lalu aku dan 2 temanku pergi ke sebuah mall, mereka berniat untuk berbelanja dan aku berniat untuk bermain di salah satu tempat bermain di mall itu, aku memainkan mesin yang mengharuskan kita untuk menginjak setiap panah dan mengikuti irama lagunya, jika kalian mengerti maksudku.
Aku terus bermain dan tidak terasa aku bermain selama lebih dari 2 jam dan aku tidak tahu kalau hari sudah mulai gelap dan aku harus pulang. Aku keluar dari mall tersebut pukul 6 sore dan aku harus menunggu angkutan umum yang menjurus ke arah rumahku, aku menunggu sekitar 20-30 menit, and I saw many ugly-hurtful truth and understand that I totally a moroon.
Kenapa?
Kota tempat aku tinggal adalah salah satu kota terbesar di negaraku, mungkin dengan daerah yang besar dengan jumlah penduduk yang banyak dibutuhkan banyak pengorbanan untuk bisa bersaing dan bertahan hidup dan yang paling utama, kurasa, memenuhi hasrat perut yang lebarnya hanya sejengkal ini. Jadi, saat aku menunggu angkot, aku melihat sekitar agar tidak melamun, kemudian mataku menangkap seorang tukang becak yang sedang bermufakat tentang harga yang diminta oleh penumpangnya hingga aku mendengar kata "oke".
2 detik kemudian datang seorang lelaki paruh baya dan menadahkan tangannya kepada si tukang becak, dengan wajah lesu tukang becak itu menunduk dan aku mendengar percakapan mereka..
"gak ada bang.."
"halah, cepat, 5ribu aja, masak gak ada. ibuk itu kan nanti bayar 15ribu, yaudah untukku 5ribu sama kau 10ribu"
kemudian bapak itu memasukkan tangannya ke kantong celananya dan mengambil semua uang yang ada dan bapak yang satunya mengambil uang tersebut sambil tersenyum dan berkata, "nah ginikan pas, sana pigilah kau" . Kemudian si tukang becak pergi, si peminta uang duduk di pinggiran jalan sambil tertawa kepada temannya dan aku tidak tau apa yang mereka bicarakan. Aku terus memandangi mereka, tanpa sadar, sambil menggelengkan kepalaku. Mungkin mereka merasa diperhatikan dan satu di antaranya melihatku dan menggumamkan sesuatu, lalu diikuti oleh yang satunya. Lalu mereka tertawa. Tak ku bantah perasaan takutku, tapi aku tidak menjauh atau menunjukkan rasa takutku karena aku sangat marah, tapi apa aku juga bisa maju kearah mereka dan berkata hal yang seharusnya kukatakan? jawabannya tidak. Aku hanya bisa diam dan memandangi tawa penjahat jalanan itu.
Kenapa?
Kota tempat aku tinggal adalah salah satu kota terbesar di negaraku, mungkin dengan daerah yang besar dengan jumlah penduduk yang banyak dibutuhkan banyak pengorbanan untuk bisa bersaing dan bertahan hidup dan yang paling utama, kurasa, memenuhi hasrat perut yang lebarnya hanya sejengkal ini. Jadi, saat aku menunggu angkot, aku melihat sekitar agar tidak melamun, kemudian mataku menangkap seorang tukang becak yang sedang bermufakat tentang harga yang diminta oleh penumpangnya hingga aku mendengar kata "oke".
2 detik kemudian datang seorang lelaki paruh baya dan menadahkan tangannya kepada si tukang becak, dengan wajah lesu tukang becak itu menunduk dan aku mendengar percakapan mereka..
"gak ada bang.."
"halah, cepat, 5ribu aja, masak gak ada. ibuk itu kan nanti bayar 15ribu, yaudah untukku 5ribu sama kau 10ribu"
kemudian bapak itu memasukkan tangannya ke kantong celananya dan mengambil semua uang yang ada dan bapak yang satunya mengambil uang tersebut sambil tersenyum dan berkata, "nah ginikan pas, sana pigilah kau" . Kemudian si tukang becak pergi, si peminta uang duduk di pinggiran jalan sambil tertawa kepada temannya dan aku tidak tau apa yang mereka bicarakan. Aku terus memandangi mereka, tanpa sadar, sambil menggelengkan kepalaku. Mungkin mereka merasa diperhatikan dan satu di antaranya melihatku dan menggumamkan sesuatu, lalu diikuti oleh yang satunya. Lalu mereka tertawa. Tak ku bantah perasaan takutku, tapi aku tidak menjauh atau menunjukkan rasa takutku karena aku sangat marah, tapi apa aku juga bisa maju kearah mereka dan berkata hal yang seharusnya kukatakan? jawabannya tidak. Aku hanya bisa diam dan memandangi tawa penjahat jalanan itu.
Lalu aku belakangan sering keluar di malam hari, terutama berkeliling kota bersama orangtuaku karena di daerahku sering terjadi pemadaman listrik bergilir yang membuat kami semua tidak betah untuk berada dirumah.
Waktu itu aku dan ayahku pergi berkeliling, tidak jauh, sekitar 5 km dari rumahku. Ada jalan panjang dan diselingi oleh beberapa lampu lalu lintas. Jika aku tidak salah waktu itu pukul 11.30 malam. Mataku tidak berat sama sekali, mungkin karena segelas Americano yang kuminum sebelumnya, aku memerhatikan jalan dan melihat-lihat keadaan sekitar.
Aku heran dan kemudian tertawa kecil ketika melihat seorang lelaki berumur paruh baya bersepeda di jam tersebut, dari caranya berpakaian aku menarik kesimpulan bahwa ia sedang berolahraga. Aneh, jika tujuan olahraga adalah membuat badan menjadi sehat, tak tahukah ia bahwa udara malam sangat merusak tubuh? Kemudian aku bertanya pada ayahku apa iya olahraga di jam tersebut adalah sebuah hal lumrah? Tapi ayahku hanya berkata mungkin orang tersebut tidak memiliki waktu lain untuk berolahraga selain pada jam ini. Aku diam, berfikir dan berkata dalam hati "oke, ini bukan urusanku".
Tak berapa lama kemudian kami sampai di sebuah persimpangan dan harus berhenti karena lampu merah sedang menyala, aku melihat seorang anak (aku rasa umurnya 8-10 tahun) sedang menawarkan air mineral untuk dijual dari satu mobil ke mobil lainnya. Salah satu mobil membeli minuman tersebut dan kulihat senyum anak itu sangat lebar dan bahagia, aku ikut tersenyum.
Hal yang menggangguku adalah, anak itu berdagang air mineral saat... hampir tengah malam. Berbagai pertanyaan melintas di otakku, seperti:
"apa ia tidak bersekolah di esok hari?"
"apa orangtua nya yang menyuruh ia berjualan?"
"jika ia berdagang di malam hari, apa saat hari sedang terang ia juga berdagang?"
hingga aku sampai ke pertanyaan terakhir;
"ini salah siapa?"
Beberapa detik lagi lampu merah tersebut akan menjadi hijau dan anak tersebut berlari menuju seseorang yang sedang menunggunya, lelaki tersebut mungkin berumur seperempat abad dan anak kecil itu memberikan semua uang hasil penjualannya kepada lelaki tersebut. Lelaki itu menerimanya dan si anak kembali menjajakan barang dagangannya...
Jika aku menuliskan semua yang aku lihat, aku rasa tulisan ini akan sangat panjang dan kalian tidak mau membacanya, haha.
Saat melihat kejadian-kejadian tersebut, inilah hal yang kukatakan kepada diriku sendiri dan aku tidak bisa lupa..
Aku heran dan kemudian tertawa kecil ketika melihat seorang lelaki berumur paruh baya bersepeda di jam tersebut, dari caranya berpakaian aku menarik kesimpulan bahwa ia sedang berolahraga. Aneh, jika tujuan olahraga adalah membuat badan menjadi sehat, tak tahukah ia bahwa udara malam sangat merusak tubuh? Kemudian aku bertanya pada ayahku apa iya olahraga di jam tersebut adalah sebuah hal lumrah? Tapi ayahku hanya berkata mungkin orang tersebut tidak memiliki waktu lain untuk berolahraga selain pada jam ini. Aku diam, berfikir dan berkata dalam hati "oke, ini bukan urusanku".
Tak berapa lama kemudian kami sampai di sebuah persimpangan dan harus berhenti karena lampu merah sedang menyala, aku melihat seorang anak (aku rasa umurnya 8-10 tahun) sedang menawarkan air mineral untuk dijual dari satu mobil ke mobil lainnya. Salah satu mobil membeli minuman tersebut dan kulihat senyum anak itu sangat lebar dan bahagia, aku ikut tersenyum.
Hal yang menggangguku adalah, anak itu berdagang air mineral saat... hampir tengah malam. Berbagai pertanyaan melintas di otakku, seperti:
"apa ia tidak bersekolah di esok hari?"
"apa orangtua nya yang menyuruh ia berjualan?"
"jika ia berdagang di malam hari, apa saat hari sedang terang ia juga berdagang?"
hingga aku sampai ke pertanyaan terakhir;
"ini salah siapa?"
Beberapa detik lagi lampu merah tersebut akan menjadi hijau dan anak tersebut berlari menuju seseorang yang sedang menunggunya, lelaki tersebut mungkin berumur seperempat abad dan anak kecil itu memberikan semua uang hasil penjualannya kepada lelaki tersebut. Lelaki itu menerimanya dan si anak kembali menjajakan barang dagangannya...
Jika aku menuliskan semua yang aku lihat, aku rasa tulisan ini akan sangat panjang dan kalian tidak mau membacanya, haha.
Saat melihat kejadian-kejadian tersebut, inilah hal yang kukatakan kepada diriku sendiri dan aku tidak bisa lupa..
"Banyak sekali hal yang tidak kuketahui, namun ketika aku mengetahuinya aku tidak bisa melakukan apapun. Aku tidak bisa membantu. Aku hanya bisa diam. Aku benci karena aku terlalu kecil dan tidak memiliki wewenang apapun untuk membantu dan menghukum mereka yang salah, sementara orang-orang yang lebih besar, lebih berwewenang malah terlihat tidak peduli. Haruskah aku merasa bersalah seperti ini? Kenapa aku tidak bisa tumbuh besar lebih cepat?!Aku tidak boleh melihat hal seperti ini lagi, ini melukai hatiku"
Aku, mungkin kita terlalu sibuk dengan dunia kita masing-masing dan aktivitas-aktivitas kita hingga tidak sempat melihat sekitar dan berfikir serta merenung. Kita tidak merasakan apapun selain rasa kurang ini dan itu, mau ini dan itu, benci ini dan itu. Sementara diluar sana...ketika siang berganti jadi malam, saat kita semua tertidur pulas di kamar dan kasur kita yang nyaman, banyak orang yang masih beraktivitas di jalanan untuk hidup. Segala cara dilakukan, dengan objek dan subjek yang tidak mengenal usia, kemampuan, atau apapun.
Cerita yang kutulis ini- bukan cerita, realita yang kutulis ini belum ada apa-apanya dibanding hal yang terjadi di luar sana, masih ada banyak lagi.
Aku harap semuanya bisa kita jadikan pelajaran dan bahan pertimbangan karena sesungguhnya kita harus peka dan merasakan apa yang orang lain rasakan. Tentu saja, karena kita semua sama, manusia.
Daah!
Medan,
Minggu, 6 Juli 2014